Senin, 02 Juli 2012

Hukum Berobat dengan Clomid dalam Islam

Hukum Berobat dengan Clomid dalam Islam | Dar Al Ifta’ Al Mishriyah mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya menggunakan clomid untuk mengatasi kemandulan bagi wanita, dengan beberapa syarat. Clomid sendiri merupakan obat-obatan yang mengandung hormon, yang bisa membantu proses pembuahan, diambil dari air seni wanita yang berusia di atas 40 tahun.

Fatwa itu merujuk mengenai bolehnya berobat dengan hal-hal yang najis, jika belum ditemukan hal-hal suci yang bisa menggantikannya, dan hal itu dilakukan atas pengetahuan para ahli, sebagaimana dianut oleh madzhab Hanafi dan Syafi’i.

Seorang ulama madzhab Hanafi, Imam Ibnu Abidin dalam Al Hasyiyah (4/215) menukil dari penulis Al Hidayah,”Boleh bagi orang yang sakit meminum air seni dan darah serta bangkai untuk berobat, jika dokter Muslim menyatakan bahwa di dalamnya ada obat untuknya dan ia belum menemukan hal yang mubah yang menggantikannya.”

Khatib As Syarbini dari kalangan As Syafi’iyah menyatakan dalam Al Mughni (4/234),”Adapun obat penawar jika dicampur dengan khamr atau sejenisnya dari apa-apa yang campur padanya, maka boleh berobat dengannya jika tidak ada perkara yang bisa dijadikan obat untuknya dari apa-apa yang suci seperti berobat dengan barang-barang najis semisal daging ular dan air seni, walau berobat dengannya untuk mempercepat kesembuhan, dengan syarat adanya informasi dari dokter Muslim yang adil mengenai hal itu…”

Al Haitami dalam At Tuhfah (9/170) juga menyatakan,”Adapun pencampuran khamr denga obat lain, maka boleh berobat dengannya, sebagaimana penggunaan terhadap hal-hal yang najis lainnya jika ia tahu atau diberi tahu oleh dokter yang adil mengenai manfaatnya, serta menunjukkan bahwa tidak ada hal-hal suci yang menggantikannya.”

Berdasarkan pernyataan para fuqaha tersebut, melalui muftinya Dr. Ali Jum’ah menyatakan bolehnya berobat dengan obat-obatan tersebut (clomid) dengan syarat, bahwa pengobatan itu dilakukan oleh dokter yang adil, yang memutuskan hal itu setelah memperhitungkan antara pengaruh obat-obatan ini terhadap proses pembuahan dan bahaya yang ditimbulkan jika tidak berobat dengannya. Dan ia bertanggung jawab di hadapan Allah atas keputusannya tersebut.

Fatwa ini sendiri dikeluarkan dalam rangka merespon pertanyaan yang dikirim oleh Prof. Wafa’ Unaimi, sebagaimana dipublikasikan dalam situs lembaga ini, dar-alifta.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar